Menantu Jokowi, Bobby Afif Nasution, juga mendaftar pada 3 Desember pencalonannya dalam pemilihan walikota di Medan, Sumatera Utara, melalui PDI-P cabang Sumatera Utara.
Langkah-langkah yang diambil oleh keduanya telah menimbulkan spekulasi bahwa keluarga presiden sedang membangun dinasti politik, yang tetap menjadi praktik umum dalam demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Puan Maharani, sekarang Ketua Parlemen, mengikuti jalan ibunya, Nyonya Megawati, yang merupakan presiden kelima Indonesia dan putri dari bapak pendiri negara dan presiden pertama Sukarno.
Agus Harimurti Yudhoyono, putra tertua dari presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono, juga bergabung dengan pemilihan gubernur Jakarta 2017, tetapi kalah.
Jokowi, yang memiliki tiga anak, membantah pembicaraan tentang dinasti politik, Antara melaporkan pada hari Kamis.
Dia menggarisbawahi bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk memilih atau untuk dipilih, dan pemilihan daerah adalah kompetisi di mana pemilih menentukan nasib para kandidat.
“Dalam sebuah kompetisi, (seorang kandidat) bisa menang atau kalah. Terserah rakyat, yang punya hak pilih,” katanya di sela-sela peresmian jalan tol di Bekasi, Jawa Barat.
Jokowi juga menegaskan bahwa pencalonan putra sulungnya adalah keputusan pribadinya.
Gibran dan Bobby, 28, juga menolak tuduhan niat mereka untuk membangun dinasti politik.
Gibran, lulusan Management Development Institute of Singapore, sebelumnya mengisyaratkan bahwa dia tidak tertarik pada politik dan lebih suka fokus pada bisnisnya.
Noory Okthariza, seorang ahli politik di lembaga pemikir Centre for Strategic and International Studies yang berbasis di Jakarta, mengatakan kepada The Straits Times bahwa tuduhan membangun dinasti politik akan sulit ditolak.
“Meskipun presiden tidak melakukan apa pun seperti memberi mereka dukungan langsung, Gibran dan Bobby sudah memiliki modal sosial dan politik yang tidak dimiliki kandidat lain,” katanya.
Dia menambahkan: “Jokowi dipuji secara luas karena dia tidak memiliki dinasti politik dan tidak terhubung dengan rezim Orde Baru. Sayangnya pencalonan mereka menunjukkan ada upaya untuk mendirikannya, yang bertentangan dengan citranya sebagai pemimpin yang bersih dan jauh dari kemapanan politik Indonesia.”